Selasa, 09 November 2010

ILMU RIJALUL HADITS

ILMU RIJALUL HADITS

TA’ RIEF ILMU RIJALIL HADITS

Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini.

Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar:

1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits.

2. Ilmu jahri wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.

Maka Ilmu Tarikhir Ruwah ialah :

“ ilmu yang mengenalkan kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadits. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari padanya, negrinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatnnya, sejarah kedatangannya ketempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits”.

Ilmu ini lahir bersama-sama dengan lahirnya periwayatan hadits dalam islam. Para ulama sangat mementingkannya supaya mereka mengetahui keadaan perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemustahilannya dan kemunqathii’annya, tentang kemarfu’annya dan kemauqufannya.

Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan Ats Tsauri berkata :

“ tatkala para perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”

Dengan kesungguhan para ulama dalam mengahadapi sejarah para perawi, terkumpullah suatu perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya mereka. Maka ada yang menulis tentang hal sahabat dan segala sangkut pautnya, tentang bilangan hadits-hadits mereka dan perawi-perawinya.

Di waktu memancar mata hari pembukuan ilmu, lahirlah aneka karangan yang menerangkan berita-berita sahabat dan tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Berbagai macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits. Ada yang mengarang sejarah para perawi, thabaqat demi thabaqat, yakni orang-orang semasa, kemudian orang-orang semasa pula.

Diantara kiatab yang paling tua yang menulis sejarah perawi thabaqat demi thabaqat, ialah kitab At Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H). dan Thabaqatur Ruwah karangan Khalifah ibn Khayyath Al-ashfari (240H). Diantara mereka, ada yang mensyarahkan menurut athun perawi, dari tahun demi tahun. Di dalamnya diterangkan tahun wafat para perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya.

Adz Dzahabi dalam kitabnya” Tarikhul Islam menempuh jalan ini”. Di antara mereka, ada yang menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Macam inilah yang mudah kita pelajari. Diantara kitab yang paling tua yang sampai kepada kita ialah : At Tarikhul Kabir Karya Al Imam Muhammad ibn islmail Al bukhari (194- 256 H). di dalamnya disebutkan lebih kurang 40.000 biografi pria dan wanita.

Kitab yang paling mengumpulkan biografi perwai-perawi hadits ialah: Kitab Tahdzieb, karya Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalany (773-853 H). Al Hafidh Abu Muhammad Abdu Ghani ibn Abdul Wahid Al Maqdasi (514-600 H). menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al Kamal fi Asmair Rijal. Kemudian kitab itu dibersihkan oleh Al Hafidh Yusuf ibn Abdur Rahman Al Mizzi (654- 742 H). dengan diberi tambahan-tambahan dan ditertibkan menurut huruf abjad, kitabnya dinamakan Tahdzibul Kamal fi Rijal yang selesai disusun pada tahun 712 H.

Kemudian Ibnu Hajar Al Asqalani meringkaskan kitab itu dengan sebuah kitab yang dinamakan Taqribut Tahdzib fi Asmal Rijal. Ada pula yang menyusun menurut negeri perawi hadits. Pengarannya menjelaskan ulama-ulama negerinya dan ulama-ulama yang datang ke negri itu. Dan terkadang-kadang diterangkan pula orang yag meriwayatkan hadits dari ulama-ulama itu.

Kebanyakan mereka menyebutkan keutamaan negeri ulama-ulamanya dibuat sejarah, kemudian mereka menyebut sahabat-sahabat yang berada di negeri itu, atau berkediaman di negara itu. Kemudian barulah diterangkan ualama-ulama lain menurut huruf abjad. Di antara kitab yang paling tua dalam bidang ini ialah, ialah Tarikh Naisabur, karangan Al Hakim(321-405 H) dan Tarikh Baghdad karya Ahmad ibn Ali Al Baghdadi yang terkenal dengan nama Al khatib Al Baghdadi ( 392-463 H) sebuah kitab yang baik. Di dalamya terdapat sejumlah 7831 biografi dan tarikh Dimasyqa, karya Ibnu Asakir ( 499-571).

Ada para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab yang menerangkan nama-nama perawi, kun-yah dan Iaqab dan kebangsaan mereka. Ada pula yang menulis nama-nama yang mu’talif dan mukh’talif, perawi-perawi yang bersaudara, sahabat-sahabat yang panjang umur, demikian pula para tabi’in dan lainnya.

Ada pula yang menulis nama-nama yang hamper sama. Diantara kitab yang paling tua yang menerangkan nama dan kun-yah, ialah Al Asma Wal Kuna, karya Ali ibn Abdullah Al madini (161-234 H). kitab yang paling padat isinya dalam bidang ini ialah Al Kuna Wal Asma karangan Muhammad ibn Ahmad Ad Daulabi (234-320 H) dan kitab Al Ikmal, karya Ibn Nakula Al Baghdadi (421-486 H).

Kiatab yang paling padat isinya dalam bidang nama yang hampir-hampir sama, ialah Al Musytabah fi Asmair Rijal, karya Adz Dzahabi (673-740 H). sedangkan kitab yang paling padat isinya tentang laqab-laqab para perawi ialah Nushatul Alhab fil Al Qab, karya Al’Asqalani (733-852 H).

Kitab yang paling besar dalam bidang silsilah keturunan para perawi, ialah kitab Al Ansab, karya Tajul Islam Abdu Karim ibn Muhammad As San’ni (506-562 H). dan kitab Al Lubab, karya Ali ibn Muhammad Asy Syaibani Al Jazari (555-630 H). para ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits, seperti Aisyah dan isteri-isteri nabi lainnya, serta sahabat-sahabat wanita.

Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H) menspesialkan jilid terakhir dari kitabnya untuk perawi-perawi wanita, sungguh usaha ulama-ulama kita dalam bidang ini mengagumkan benar.[1] Ilmu ini ada yang menanamkan Ilmu Tarikh, ada yang menanamkan Tarikhur Ruwah, ada yang menanamkan Wafayyatur Ruwah, dan ada yang menanamkan At Tawarikh Wafiyyyat.

ILMU JARHI WAT TA’DIL

1. TA’RIEF JARHI

Jarah, menurut bahasa lughah bermakna melakukan badan yang karenanya mengalirkan darah. Apabila dikatakan: hakim menjarahkan saksi maka maknanya : hakim menolak kesaksian saksi. [2]Menurut istilah ahli hadits.

“Nampak suatu sifat pada perawi yang merusak keadilannya atau mencederakan hafadhannya, karenanya gugurlah riwayatnya dipandang lemah”.

2. TA’RIEF TAJRIEH

Tajrieh menurut lughat, bermakna tasyqieq= melakukan, sedangkan ta’jieb = mengaibkan. Menurut uruf ahli hadits, ialah:

“mendhahirkan sesuatu cacat yang karenanya ditolak riwayatnya”

“Mensifatkan para perawih dengan sifat-sifat yang menyebabkan dilemahkan riwayatnya atau tidak diterima”.

Adil menurut lughah :

“suatu yang dirasakan oleh diri, bahwasanya dia itu adalah dalam keadaan lurus”.

Orang yang dipandang adil adalah : orang yang diterima kesaksiannya, yaitu : islam, bulugh, adalah keadilan dan dlabath.[3] Menurut istilah adalah:

“ orang yang tidak nampak dalam urusan keagamaannya dan muruahnya sesuatu yang mencederakan keadilan dan muruhnya”.

Karena itu terimalah kesaksiaannya dan riwayatnya apabila sempurna keahliannya meriwayatkan hadits.

3. TA’DIL

ta'dil menurut lughat adalah taswiyah ( menyamakan) sedangkan menurut istilah ialah

“ mensfatkan perawi dengan sfat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahannya, lalu Nampaklah keadilannya dan diterimalah riwayatnya”.

Menurut uruf ahlil hadis ialah

“ mengakui keadilan seseorang, kedlabithan dan kepercayaan”.

Maka ilmu jarwi wat Ta’dil ialah:

“ ilmu yang membahas keadaan-keadaan perawi dari segi terima, tolak riwayatnya”.[4]

Ilmu ini salah satu yang terpenting dan tinggi benar nilaiya, karena dengan dialah dapat dibedakan antara yang shahih dengan yang saqim, antara yang diterima dengan yang ditolak, mengingat timbilnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.

4. PERTUMBUHAN ILMU JARHI WAT TA’DIL

Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan perawi-perawinya secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran perawi atau kedustaannya hingga dapatlah mereka nenbedakan antara yang diterima dan ditolak.

Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbunya periwayatan dalam islam. Para ulama menerangkan catatan-catatan para perawi yang memang tercatat.

5. LAFADH-LAFADH TA’DIL

Para ulama hadits telah menempatkan lafadh-lafadh ta’dil dalam beberapa martabat[5].

1. Ibnu Abi Hatim, Ibnush Shalah dan An Nawawi menjadikan 4 martabat.

2. Adz Dzahabi dan Al’Iraqi menjsdiksn 5 martabat.

3. Al Hafidh ibnu Hajar menjadikan 6 martabat bagi Ta’dil dan 6 martabat bagi tajrieh.

A. Tiap-tiap ibarat yang masuk kepadanya fi’il tafdlil dan yang menyerupai fi’il tafdil yang menunjukan kepada mubalaghah, yaitu seperti kata ulam hadits :

1.“ Si anu orang yang paling kepercayaan”.

2. “ Si Anu orang yang paling kuat hafalannya dan keadilannya”.

Dan perkataan.

“Kepadanyalah kesusahan”.

An Nawawi memasukan ke dalam martabat ini perkataan:

“ tak ada sesorang yanga lebih kuat dari padanya”.

“ dan siapa yang sama si anu”.

“ si polan ditanya tentang keadaannya “

Martabat inilah yang dipandang paling tinggi dari martabat yang lain.

B. Tiap-tiap ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan mengulangi-ulangi lafadh yang menunjukan kepada keadilan, dua kali atau lebih, baik lafadh yang kedua itu, lafadh yang pertama, ataupun yang semakna dengan lafadh yang pertama, dan makin banyak diulang-ulang kalimat itu, makin menunjukan maksud seperti dikatakan ;

Kepercayaan,kepercayaan

Kepercayaan, kuat hafalan.

Penghafal hadits dan orang yang perkataannya jadi hujjah.

Di antaranya perkataan Ibnu Sa’id dalam thabaqat terhadap syu’bah :

“Kepercayaan, orang yang terpelihara, teguh hafalan, perkataanya menjadi hujjah, pemelihara hadis.

Ibnu Uyainah mengatakan, bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Amer ibn Dienar dan beliau seorang tsiqah Sembilan kali Ibn Uyainah kata tsiqah.

C. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan sesuatu lafadh yang member pengertian, bahwa perawi itu kokoh ingatannya, seperti dikatakan

1. Si polan orang yang teguh hati dan lidah

2. Si polan teguh dan bagus riwayatnya

3. Si polan kepercayaan

4. Si polan penghafal hadits

5. Si polan seorang yang teguh hafalannya

6. Si polan hijjah

D. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat para perawi dengan suatu lafald yang tidak memberi pengertian, bahwa dia itu orang yang kokoh ingtannya, seperti

1. si polan orang yang sangat benar

2. si polan boleh dipegang perkataanya

3. si polan tak ada padanya cacat

4. si polan tak ada cacattan padanya

5. si polan orang pilihan

Diterangkan oleh ibnu Abi Hatim bahwa perawi yang dikaitkan demikian terhadap dirinya, ditulis haditsnya lalu diselidiki apakah orang itu kuat ingatan, atau tidak.

E. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi dengan sifat yang tidak member pengertian bahwa dia, kokoh ingatan dan tidak pula menunjukkan kepada benar dan amanah, seperti perkataan :

“ Si polan adalah orang yang dapat dipandang benar”

Masuk kedalam martabat ini, perkataan :

1. Si polan orang yang diriwayatkan dari padanya

2. Si polan yang pertengahan

3. Si polan seorang syaikh

4. Si polan seorang yang pertengahan dan seorang syaikh

5. Si polan seorang yang baik haditsnya

6. Si polan seorang yang mendekati haditsnya

7. Si polan seorang yang indah haditsnya

8. Si polan sesorang yang didekati hadisnya.

9. Si polan seorang yang shahih haditsnya

Di sini perlu ditegaskan bahwa Al Bulqini berpendapat, Muqaribul Hadits ( dengan mengkasrahkan raa) dipakai lafadh ta’dil sedangkan muqarabul hadits ( dengan mengghafathahkan raa) dipakai buat lafadh tajrih.[6] Makna muqarrab adalah radie’un = buruk. Diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa masuk kedalam martabat ini, apabila dikumpulkan antara lafadh shaduuq dengan lafadh yang menunjukan kepada lemah seperti :

1.orang yang benar, buruk hafalannya

2. orang benar, tapi berwaham

3. oarng benar, yang banyak waham

4. orang benar yang sering silap

5. orang yang benar berubah akal diakhir umurnya

Hadist-hadits orang yang tersebut ini, ditulis untuk I’tibar dan nadhar. Dan dimasukkan pula kedalam martabat ini, mensifatkan perawi, dengan ahli bid’ah. Seperti dikatakan : “ dia menganut madhzab Syi’ah, madzhab Qadariyah, Murjiyah dan lain-lain sebagainya.

F. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sesuatu lafadh dari lafadh-lafadh yang telah lalu, kemudian diiringinya dengan perkataan “ jiak dikehendaki allah”, atau menunjukan bahwa perawi itu tidak teguh mempunyai sifat-sifat itu, seperti dikatakan:

1. dia seorang benar insya allah

2. saya harap dia orang yang dapat diterima

3. si polan orang yang sedikit salih

Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalani menambah lagi dengan perkataan :

“Yang dierima”

Golongan ini ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Tegasnya, tiga martabat yang pertama, ditulis dengan tidak dinadharkan lagi. Tiga martabat yang ke dua, ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Diterima syahadat terhadap penetapan-penetapan tersebut dengan akuan seorang yang mengetahui sebab-sebab tazkiyah (ta’dil), seperti Asy Syafi’I, Ahmad dan Al bukhari.

6. HUKUM JARH

Al imam An Nawawi dalam muqaddamah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan mencatat para perawi lantaran hal itu diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upa, bahkan dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama. Ulama-ulam dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.[7]

7. MARTABAT-MARTABAT TAJRIEH

Sebagaimana ta;dil bermatabat, begitu juga tajrieh. Kesatu, memakai kata-kata yang menunjukkan kepada tercela perawi. Seburuk-buruk lafadh-lafadh tajrih, ialah mensifatkan perawi dengan ibarat yang menunjukkan kepada sangat dusta dalam mewadla’kan hadits, atau dengan kedua-duanya seperti :

1. Si polan seorang yang paling dusta

2. Seorang yang paling banyak membuat hadits palsu

3. Kepadanya puncak pembuatan hadits palsu

4. Dia tiang tonggak dusta

5. Dia sumber dusta

Kedua memakai kata-kata atau istilah :

1. Dia dajjal pengrusak

2. Dia seorang yang banyak memalsukan hadits

3. Dia seorang yang sangat pendusta

Kedua mensifatkan perawi dengan salah satu sifat dusta dan memalsukan hadits, tetapi tidak terlalu merekankan, atau mensifatkanny dengan sifat yang kurang buruknya dari dusta dan memalsukan hadits seperti:

1. Si anu terdutuh berdusta

2. Si anu tertuduh memalsukan hadits

3. Si polan padanya ada peninjauan

4. Si polan seorang yang gugur

5. Si polan seorang yang biasa

6. Si polan orang yang tidak di I’tibarkannya

7. Si polan, tidak di I’tibarkan haditsnya

8. Si polan para ulama berdiam diri tentang halnya

9. Si polan seorang yang tidak diacuhkan

10. Si polan oaring yang di tinggalkan

11. Si polan orang yang ditinggalkan haditsnya

12. Si polan para ulam meninggalkannya

13. Si polan bukan orang kepercayaan

Ketiga memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :

1. Si polan para ulama membuang haditsnya

2. Si polan orang yang dicampak

3. Si polan orang yang dicampak haditsnya

4. Si polan dla’if sekali

5. Si polan orang yang ditolak

6. Si polan para ulama menolak haditsnya

7. Si polan orang yang ditolak haditsnya

8. Si polan tidak dipandang apa-apa

9. Si polan tidak menyamai apa-apa

Keempat memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :

1. Si polan tidak diambil hujjah dengan dia

2. Si polan munkar hadits

3. Si polan bolak-balik haditsnya

4. Si polan lemah

5. Si polan dla’if

6. Si polan para ulama melemahkannya

Kelima memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :

1. Si polan dilemahkan

2. Si polan padanya ada kelemahan

3. Si polan pada haditsnya ada kelemahan

4. Si polan padanya ada pembicaraan

5. Si polan pada haditsnya ada pembicaraan

6. Si polan diingkar dan diakui, yakni sekali membawa hadits munkar dan sekali dia membawa ma’ruf

7. Si polan padanya ada perselisihan

8. Si polan diperkatakan ulama

9. Si polan dicecat ulama

10. Si polan mempunyai kelemahan

11. Si polan buruk hafalannya

12. Si polan lembut

13. Si polan lembut haditsnya

14. Si polan bukan hujjah

15. Si polan tidak kuat

16. Si polan tidak kukuh

17. Si polan bukan pegangan

18. Si polan tidak ada artinya

19. Si polantidak sama dengan kuat itu

20. Si polan bukan orang tidak diridlai

21. Si polan saya tidak ketahui buruknya

22. Si polan saya harap tak ada buruknya

Golongan ini ditulis haditsnya I’tibar. Golongan ini paling dekat kepada ta’dil. Ibnu Abie Hatim mengatakan bahwa: “ orang yang lembut haditsnya”, maka dikatakn laiyinul= orang yang lembut haditsnya, maka hadits tersebut di tulis untuk dinadharkan.[8]

.



[1] . baca kitab as sunah qablat Tadwin Karya Dr. Muhammad Ajjaj Ar Risalah Al Mustathrafah.

[2]. Lisanul Arab, 3 246.

[3] . Muqaddamah Ibnush Shalah: 16,Al Mustashfa 1: 99, al Ihkam fi ushulil Ahkam karya Al Amidi 2:11, irsyadul fuhul 48, Tadribul Rawi 201.

[4] . Ma’rifatu Ulumul Hadits 52, Al Kifayah 81,101.

[5] . ushulul hadis 262,264 ayat 70 dan 71 al ahzab.

[6] . Ta’lied Muhyiddien 157, Ta’lied syakir 113.

[7] . An Nawawi dalam riyadlah Syalihan dan apa yang diuraikan oleh Al Ghazali dalam A Ihya.

[8] . Fat-hul Mughits: karya Al ‘Iraqi 2 : 42, Fat-hul Mughits karya As Sakhawai